Runtuhnya Wall Street 1929
Kepanikan melanda Wall Street.
Runtuhnya Wall Street 1929, juga dikenal dengan sebutan Keruntuhan ’29,
adalah peristiwa jatuhnya bursa saham di Amerika Serikat, yang menandai
dimulainya sebuah era yang disebut Depresi Besar. Keruntuhan ini merupakan
salah satu peristiwa kehancuran bursa yang paling besar dalam
sejarah Amerika.
Peristiwa kehancuran bursa tersebut juga dikenal dalam beberapa tahapan yang
dikenal dengan julukan Black Thursday (Kamis Hitam) yang merupakan awal
terjadinya keruntuhan pada bursa dan Black Tuesday (Selasa Hitam) yaitu saat
kehancuran terjadi yang membuat panik hingga lima hari setelahnya.
Walaupun para ahli ekonomi dan para ahli sejarah tidak sependapat atas peran
kehancuran bursa ini terhadap kejatuhan ekonomi yang terjadi sesudahnya,
beberapa menganggap kehancuran ini sebagai awal dari terjadinya Great
Depression. Akan tetapi kebanyakan ahli sejarah menyetujui pendapat bahwa
kehancuran bursa tersebut adalah hanya merupakan "gejala" daripada
merupakan "penyebab" Great Depression. Kehancuran bursa saat itu juga
meruopakan titik awal dari reformasi penting dari peraturan-peraturan hukum di
bidang finansial dan perdagangan.
Pada saat terjadinya kehancuran tersebut, kota New York sedang bertumbuh
menjadi ibukota finansial yang utama dan metropolis. New York Stock
Exchange (NYSE) ketika itu merupakan bursa efek yang terbesar di dunia.
"Kegembiraan luar biasa dan keuntungan besar dari pasar yang bergairah
(bullish) berakhir seketika pada hari Kamis tanggal 24 Oktober 1929 yang
dikenal dengan Black Thursday, sewaktu hargaharga
saham di NYSE berjatuhan semuanya pada hari itu dan berlangsung terus
selama sebulan mencapai nilai terendah yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Terjadi kepanikan dimana semua orang menjual saham yang dimilikinya. Setelah
keruntuhan tersebut, Dow Jones Industrial Average (DJIA) pulih lebih awal pada
tahun 1930, lalu jatuh kembali mencapai titik terendah pada tahun 1932. Hingga
akhir tahun 1954, pasar bursa tidak pernah kembali seperti pada saat sebelum
tahun 1929 dan bahkan lebih rendah dari 8 July, 1932 .
“Siapapun yang membeli saham pada pertengahan tahun 1929 dan
menyimpannya maka ia akan melewati masa tuanya tanpa pernah melihat
harga sahamnya kembali pada harga sewaktu saham tersebut
dibelinya.”
Perjalanan waktu
Suasana lantai bursa New York Stock Exchange sesaat setelah terjadinya kehancuran pada tahun 1929.
Setelah periode 5 tahun yang mengagumkan dimana indeks Dow Jones
Industrial Average (DJIA) mencapai puncaknya di angka 381.17 pada tanggal 3
September1929, pasar kemudian menukik turun dengan cepat selama sebulan
hingga turun sebesar 17%. Lalu kemudian pasar pulih kembali minggu
berikutnya meskipun tidak mencapai 50% dari penurunan yang terjadi pada
minggu sebelumnya. Sayang, pulihnya pasar hanya berlangsung sekejap saja,
dan setelah itu kembali menukik turun dengan tajamnya pada hari Kamis
tanggal 24 Oktober 1929 (sehingga disebut "Black Thursday" atau "Kamis
Hitam"). Kurang lebih tiga belas juta saham ditransaksikan pada hari itu, dan
menjadi rekor transaksi di AS.
Pada hari Jum'at tanggal 25 Oktober jam 13.00, beberapa pimpinan bank
terkemuka di Wall Street mengadakan pertemuan guna mencari jalan keluar
untuk mengatasi kepanikan pada lantai perdagangan di bursa NYSE. Hadir
dalam pertemuan tersebut Thomas W. Lamont, wakil pimpinan Morgan
Bank; Albert Wiggin, pimpinan Chase Manhattan Bank; dan Charles E. Mitchell,
presiden dari Citibank. Mereka kemudian menunjuk Richard Whitney, wakil
presiden dari bursa untuk mewakili mereka. Dengan adanya dukungan penuh
dari perbankan terkemuka di Wall Street, Whitney menempatkan penawaran
(bid) atas saham U.S. Steel dalam jumlah lot yang besar sekali pada harga
diatas harga pasar. Sewaktu para pialang terpesona oleh tindakan Whitney ini, ia
pun kembali melakukan penawaran yang serupa pada saham-saham unggulan (
saham bluechip) . Taktik ini serupa dengan taktik yang digunakan guna
mengakhiri kepanikan pada 1907, dan berhasil meredam penurunan harga lebih
dalam lagi pada hari itu. Namun itu semua ternyata hanya berlangsung
sementara saja.
Sepanjang akhir pekan, kejadian tersebut didramatisasi oleh surat
kabar keseluruh Amerika. Pada hari Senin tanggal 28 Oktober kian banyak
investor yang memutuskan untuk keluar dari bursa dengan menjual kepemilikan
sahamnya dan kejatuhan harga makin menjadi-jadi hingga mencapai penurunan
sebesar 13% pada indeks Dow pada hari itu. Keesokan harinya pada tanggal 29
Oktober 1929 terjadilah apa yang dinamakan "Black Tuesday" (Selasa Hitam)
dimana terjadi transaksi 16,4 juta saham, suatu angka yang memecahkan rekor
yang dibuat 5 hari sebelumnya dan ini tidak pernah terjadi lagi hingga
tahun 1969.
Richard Salsman menulis bahwa pada tanggal 29 Oktober tersebut beredar
suatu desas-desus bahwa presiden Herbert Hoover tidak akan melakukan veto
atas Smoot-Hawley Tariff dan ini membuat harga saham makin jatuh lebih dalam
lagi "William C. Durant bersama-sama anggota keluarga Rockefeller dan raksasa
industri finansial lainnya melakukan pembelian sejumlah besar saham guna
menunjukkan kepada publik kepercayaan mereka atas pasar , namun upaya
mereka gagal menghentikan jatuhnya harga pasar. DJIA mengalami penurunan
sebesar 12% lagi pada hari itu. Alat pencatat transaksi tidak berhenti bekerja
hingga pukul 19.45 hari itu. Pasar mengalami kerugian sebesar 14 milyar
USD pada hari itu, sehingga total kerugian pada minggu itu telah mencapai nilai
30 milyar USD, 10 kali lipat dari anggaran belanja tahunan pemerintah federal
Amerika Serikat, dan lebih besar dari seluruh biaya yang dikeluarkan oleh
Amerika guna membiayai Perang Dunia II.
Angka terendah sementara dicapai pada tanggal 21 November, dengan angka
penutupan Dow pada angka 198.6. Pasar mengalami pemulihan sementara
untuk beberapa bulan pada angka tersebut dengan dicapainya kenaikan pada
Dow hingga mencapai puncaknya pada angka 294.0 di bulan April 1930. Pasar
mulai bangkit kembali pada bulan April 1931 namun tidak sampai akhir tahun
1932 dimana indeks Dow ditutup pada angka 41.22 pada tanggal 8 Juli, yang
merupakan penurunan sebesar 89% dihitung dari puncak indeks sebelumnya. Ini
adalah nilai pasar yang terendah sejak abad ke 19.
Dalam penelitiannya, Salsman menyatakan bahwa "hingga bulan April 1942,
harga saham Amerika baru mencapai 75% dibawah puncak harga pada tahun
1929 dan tidak pernah mencapai kembali pada tingkat harga tersebut hingga
bulan November 1954—atau seperempat abad setelahnya."
Fundamental ekonomi
Dow Jones Industrial, 1928-1930
Kehancuran tersebut terjadi setelah ledakan spekulatif yang terjadi pada periode
tahun 1920an dimana jutaan warga Amerika melakukan investasi besar-besaran
pada bursa saham, hingga menggunakan dana pinjaman guna membeli saham.
Pada bulan Agustus 1929, para pialang secara teratur memberikan pinjaman
bagi investor kecil melebihi dari 2/3 nilai saham yang dibeli investor kecil
tersebut. Sebanyak 8,5 milyar USD disalurkan sebagai pinjaman, lebih besar dari
jumlah uang yang beredar di Amerika saat itu. Meningkatnya harga saham
merangsang orang untuk melakukan investasi , mereka berharap harga saham
akan meningkat lebih tingi lagi. Spekulasi inilah yang menjadi pemicu dari
kenaikan harga saham pada saat itu dan menciptakan "gelembung
ekonomi" (economic bubble). Rata-rata nilai P/E(price to earnings ratio) dari
saham komposit S&P adalah 32.6 pada bulan September 1929, yang jelas-jelas
diatas dari angka normal dalam catatan sejarah.
Pada tanggal 24 Oktober 1929 (dimana Dow barusan mencapai puncaknya pada
tanggal 3 September di angka 381.17), pasar kembali berbalik arah menukik
tajam lagi dan panik jual melanda bursa kembali. 12.894.650 saham
ditransaksikan pada hari itu dimana orang-orang telah mengalami rasa putus asa
untuk mencoba meredakan situasi ini. Penjualan massal menjadi suatu faktor
pendukung dari terjadinya Great Depression. Bagaimanapun juga para ahli
ekonomi dan sejarah terus menerus memiliki perbedaan pandangan tentang
makna kehancuran ini bagi Great Depression
Penyelidikan resmi atas keruntuhan Wall Street
Pada tahun 1931, dibentuklah suatu komisi oleh senat Amerika yang diberi
nama Pecora Commission guna melakukan studi kasus atas kehancuran bursa
yang terjadi. Kemudian Kongres Amerika mengeluarkan Glass-Steagall Act pada
tahun 1933, yang memberi mandat bagi pemisahan antara bank komersial
(Commercial Bank) , yang dapat menerima deposito dan memberikan pinjaman,
dengan bank investasi (Investment Bank), yang menjadi penjamin emisi, penerbit
instrument pasar modal, distribusi saham, obligasi, dan sekuritisasi.
Setelah mengambil pengalaman pada keruntuhan bursa di tahun 1929 , bursa
diseluruh dunia memutuskan untuk menghentikan sementara perdagangan
saham pada saat terjadinya penurunan harga yang amat tajam , dengan tujuan
agar menghindari terjadinya panik jual. Namun pada penurunan harga dalam
sehari yang terjadi pada tangal 19 Oktober 1987, bagaimanapun juga adalah
lebih berat daripada keruntuhan di tahun 1929. Kejadian ini dijuluki "Black
Monday" 1987 (MSenin Hitam 1987), dimana Dow Jones Industrial Average jatuh
hingga 22.6% (pasar pulih secara cepat pada dua hari kemudian).
Rekap Laba (-Rugi) Emiten 9M18 vs 9M17
6 tahun yang lalu
1 komentar:
pemulihan ekonomi memang tak semudah membalikan telapak tangan....
pemerintah mau keluarin jurus apapun tak akan ampuh tanpa dukungan sepenuhnya dari pelaku pasar....
kesalahan ekonomi masa lalu yang menumpukn seringkali menjadi penyebab krisis ekonomi.
Posting Komentar